Peta Cinta - Cinta Ahisla (Part 1)
by: Andri Erpe
by: Andri Erpe
Diangkat dari kisah nyata, ditemukan dalam sebuah lembaran wasiat, tentang cerita tersurat penuh makna di kedalaman yang tersirat, jauh lebih hening dari apa yang pernah terpendam di lubuk dan benak yang paling dalam..
Katakanlah ‘AHISLA’, sebuah jalan yang dulu pernah nampak di secarik peta sejarah bumi ini, membentang lurus dengan liku-liku kerikil tajam dan bebatuan besar nan terjal dengan berbagai jenis dan bentuk, beraneka dengan ragam dan corak, seolah-olah membuat orang enggan untuk menapakinya, sekilas terlihat menyesakkan, sekilas jauh nampak tujuan seakan tak kan pernah sampai di ujungnya.
Katakanlah ‘AHIDI’, seorang pemuda tangguh yang sedang termenung, duduk di atas sebuah batu agak lebar yang cukup baginya untuk bersila, mengerutkan dahi, membolak-balik sebuah kertas lusuh dengan catatan dan tulisan yang belum pernah ia baca dan dengar sebelumnya. Lika-liku gambar dalam kertas itu menghiasi kekusaman yang menunjukkan bahwa peta itu mungkin telah ribuan tahun tersimpan, membuat ia semakin mengernyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala, kadang kala kepalan tangannya yang besar dia pukulkan ke samping kepalanya yang mulai beruban, matanya ia sipitkan seolah dengan begitu menjadi jawaban ‘apa sebenarnya maksud kertas ini?’, tapi apalah dikata ‘jawaban’ tak pernah keluar dari jutaan memori otaknya, yang lahir hanyalah sebuah pertanyaan konyol, “Kenapa orang tua tadi memberikan kertas ini padaku? Dasar orang tua gila.. bikin pusing kepala, padahal banyak urusan yang lebih penting yang harus aku pikirkan dan jalankan, kertas kuno ini malah menambah persoalan…”
Hampir saja kertas itu ia buang, kecuali hati kecilnya yang selalu menolak, bahkan seolah mengatakan ‘jangan!’, seolah berbisik ‘lihatlah lagi!’, seolah berkata ‘bacalah!’.
Tak tahan dengan kebingungannya, akhirnya Ahidi melemparkan kertas itu, masih tak jauh di hadapannya. Lalu beranjaklah dia untuk pergi mencari kesejukan alam, menghirup udara segar, melupakan peristiwa anehnya, mencari suasana baru… Tapi tak sengaja ujung mataya melirik tipis, agak buram memang, tapi nampak jelas bagi matanya yang belum kena minus or silinder.. Di ujung peta ia menemukan sebuah kata, satu-satunya kata yang bisa ia mengerti artiya, mulai ia membelalakkan mata, menggosok dengan tangannya, semakin jelas.. semakin jelas.. Kemudian ia pun mendekat, jantungnya berdegup kencang, diambilah kertas itu lagi, tangannya sedikit bergetar dan ia pun bergumam, “…CINTA…”
Katakanlah ‘AHISLA’, sebuah jalan yang dulu pernah nampak di secarik peta sejarah bumi ini, membentang lurus dengan liku-liku kerikil tajam dan bebatuan besar nan terjal dengan berbagai jenis dan bentuk, beraneka dengan ragam dan corak, seolah-olah membuat orang enggan untuk menapakinya, sekilas terlihat menyesakkan, sekilas jauh nampak tujuan seakan tak kan pernah sampai di ujungnya.
Katakanlah ‘AHIDI’, seorang pemuda tangguh yang sedang termenung, duduk di atas sebuah batu agak lebar yang cukup baginya untuk bersila, mengerutkan dahi, membolak-balik sebuah kertas lusuh dengan catatan dan tulisan yang belum pernah ia baca dan dengar sebelumnya. Lika-liku gambar dalam kertas itu menghiasi kekusaman yang menunjukkan bahwa peta itu mungkin telah ribuan tahun tersimpan, membuat ia semakin mengernyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala, kadang kala kepalan tangannya yang besar dia pukulkan ke samping kepalanya yang mulai beruban, matanya ia sipitkan seolah dengan begitu menjadi jawaban ‘apa sebenarnya maksud kertas ini?’, tapi apalah dikata ‘jawaban’ tak pernah keluar dari jutaan memori otaknya, yang lahir hanyalah sebuah pertanyaan konyol, “Kenapa orang tua tadi memberikan kertas ini padaku? Dasar orang tua gila.. bikin pusing kepala, padahal banyak urusan yang lebih penting yang harus aku pikirkan dan jalankan, kertas kuno ini malah menambah persoalan…”
Hampir saja kertas itu ia buang, kecuali hati kecilnya yang selalu menolak, bahkan seolah mengatakan ‘jangan!’, seolah berbisik ‘lihatlah lagi!’, seolah berkata ‘bacalah!’.
Tak tahan dengan kebingungannya, akhirnya Ahidi melemparkan kertas itu, masih tak jauh di hadapannya. Lalu beranjaklah dia untuk pergi mencari kesejukan alam, menghirup udara segar, melupakan peristiwa anehnya, mencari suasana baru… Tapi tak sengaja ujung mataya melirik tipis, agak buram memang, tapi nampak jelas bagi matanya yang belum kena minus or silinder.. Di ujung peta ia menemukan sebuah kata, satu-satunya kata yang bisa ia mengerti artiya, mulai ia membelalakkan mata, menggosok dengan tangannya, semakin jelas.. semakin jelas.. Kemudian ia pun mendekat, jantungnya berdegup kencang, diambilah kertas itu lagi, tangannya sedikit bergetar dan ia pun bergumam, “…CINTA…”
to be continued..













0 komentar:
Posting Komentar