Selasa, 01 Maret 2011

Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Acheh dari ‘The Alien People’

2 komentar
by: Ibrahim Ahmad -  R.E.V.O.L.U.S.I  L.A.S.K.A.R  K.E.L.A.N.A




"To the people of the world: 
We, the people of Acheh, Sumatra,exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java...
In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. 
Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, 
December 4, 1976". 
 
Apabila sebagian manusia di dunia telah terinflitrasi pahamnya sehingga dengan mudah meyakini bahwa makhluk bumi telah terancam oleh invasi 'ALIEN' yang akan menguasai dan menjajah mereka (seperti alien dalam gambaran profile di atas), maka barangkali masing-masing bangsa memiliki gambaran 'alien' nya sendiri.

Amerika, dengan film 'The Independence Day' setidaknya ingin mepengaruhi seluruh masyarakat dunia bahwa keamanan bumi sedang terancam. Faktanya, ancaman yang dikumandangkan itu adalah dengan isu perang melawan 'teroris' (tentu dalam hal ini 'alien' tersebut mengarah kepada Islam sebagai objek yang harus diperangi). Secara tidak langsung, AS ingin mengatakan bahwa Ummat Islam yang memegang teguh prinsip aqidah tauhidnya (atau sering mereka sebut dengan istilah 'fundamentalis') adalah 'ALIEN' yang mengancam kemerdekaan masyarakat bumi.

Lain halnya dengan bansa Aceh.. Dalam proklamasi kemerdekaannya, bukan hanya penjajah asing seperti Portugis, Belanda, Jepang dll saja yang menjajah mereka. Akan tetapi, bangsa Jawa pun adalah 'The Alien People' atau bangsa asing yang merenggut kemerdekaan mereka.

Sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan kedaulatan kerajaannya dari rongrongan Imperialisme, dan fakta-fakta lain yang diungkap dalam proklamasi mereka sekiranya bisa kita lihat sebagai reaksi keras atas ketidakadilan dan TANDA TANYA BESAR atas keabsahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


Uraian proklamasi lengkapnya adalah sbb:

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

KEPADA BANGSA-BANGSA DI DUNIA,

Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta.

Tanah air kami Acheh, Sumatera, telah menjadi satu negara yang bebas, merdeka dan berdaulat selama dunia terkembang, Belanda adalah penjajah asing yang pertama datang mencoba menjajah kami ketika ia menyatakan perang kepada negara Acheh yang merdeka dan berdaulat, pada 26 Mart 1873, dan melakukan serangan atas kami pada hari itu juga, dengan dibantu oleh serdadu-serdadu sewaan Jawa, apa kesudahannya serangan Belanda ini sudah tertulis pada halaman muka surat-surat kabar di seluruh dunia, surat kabar London “Times” menulis pada 22 April, 1873:

“Suatu kejadian yang sangat menarik hati sudah diberitakan terjadi di kepulauan Hindia Timur, satu kekuatan besar dari tentara bangsa Eropah sudah dikalahkan dan dipukul mundur oleh tentara anak negeri… tentara negara Acheh, bangsa Acheh sudah mendapat kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah, tetapi dipaksa melarikan diri”.

Surat kabar Amerika, “The New York Times” pada 6 Mei 1873, menulis: “Peperangan yang berkubang darah sudah terjadi di Acheh, kerajaan yang memerintah Sumatra Utara, tentara Belanda sudah menyerang negara itu dan kini kita sudah mengetahui kesudahannya, serangan Belanda telah dibalas dengan penyembelihan besar-besaran atas Belanda, jenderal Belanda sudah dibunuh, dan tentaranya melarikan diri dengan kacau balau. Menurut kelihatan, sungguh-sungguh tentara Belanda sudah dihancur leburkan.

Kejadian ini telah menarik perhatian seluruh dunia kepada kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat lagi kuat itu. Presiden Amerika Serikat, Ulysses S. Grant sengaja mengeluarkan satu pernyataan yang luar biasa menyatakan negaranya mengambil sikap neutral yang adil, yang tidak memihak kepada Belanda atau Acheh, dan ia meminta agar negara-negara lain bersikap sama sebab ia takut perang ini bisa meluas.

Para hari 25 Desember (hari natal), 1873, Belanda menyerang Acheh lagi, untuk kali yang kedua, dengan tentara yang lebih banyak lagi, yang terdiri dari Belanda dan Jawa, dan dengan ini mulailah apa yang dinamakan oleh majalah Amerika “Harper’s magazine” sebagai “perang seratus tahun abad ini”. Satu perang penjajahan yang paling berlumur darah, dan paling lama dalam sejarah manusia, dimana setengah dari bangsa kami sudah memberikan korban jiwa untuk mempertahankan kemerdekaan kami. Perang kemerdekaan ini sudah diteruskan sampai pecah perang dunia ke-II, delapan orang nenek dari yang menandatangani pernyataan ini sudah gugur sebagai syuhada dalam mempertahankan kemerdekaan kami ini. Semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara islam Acheh Sumatra.

Tetapi sesudah Perang Dunia ke-II, ketika Hindia Belanda katanya sudah dihapuskan, tanah air kami Acheh Sumatra, tidaklah dikembalikan kepada kami, sebenarnya Hindia Belanda belum pernah dihapuskan. Sebab sesuatu kerajaan tidaklah dihapuskan kalau kesatuan wilayahnya masih tetap dipelihara -sebagai halnya dengan Hindia Belanda, hanya namanya saja yang ditukar dari “Hindia Belanda” menjadi “Indonesia” Jawa, sekarang bangsa Belanda telah digantikan oleh bangsa Jawa sebagai penjajah, bangsa Jawa itu adalah satu bangsa asing dan bangsa seberang lautan kepada kami bangsa Acheh-Sumatera. Kami tidak mempunyai hubungan sejarah, politik, budaya, ekonomi dan geografi (bumi) dengan mereka itu. Kalau hasil dari penaklukan dan penjajahan Belanda tetap dipelihara bulat, kemudian dihadiahkan kepada bangsa Jawa, sebagaimana yang terjadi, maka tidak boleh tidak akan berdiri satu kerajaan penjajahan Jawa diatas tempat penjajahan Belanda. tetapi penjajahan itu, baik dilakukan oleh orang Belanda, Eropah yang berkulit putihm atau oleh orang Jawa, Asia yang berkulit sawo matang, tidaklah dapat diterima oleh bangsa Acheh, Sumatera.

“Penyerahan kedaulatan” yang tidak sah, illegal, yang telah dilakukan oleh penjajah lama, Belanda, kepada penjajah baru, Jawa, adalah satu penipuan dan kejahatan politik yang paling menyolok mata yang pernah dilakukan dalam abad ini: sipenjajah Belanda kabarnya konon sudah menyerahkan kedaulatan atas tanah air kita Acheh, Sumatera, kepada satu “bangsa baru” yang bernama “Indonesia”. Tetapi “Indonesia” adalah kebohongan, penipuan, dan propaganda, topeng untuk menutup kolonialisme bangsa Jawa. Sejak mulai dunia terkembang, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, yang bernama demikian, di bagian dunia kita ini. Tidak ada bangsa yang bernama demikian di kepulauan Melayu ini menurut istilah ilmu bangsa (ethnology), ilmu bahasa (philology), ilmu asal budaya (cultural antropology), ilmu masyarakat (sociology) atau paham ilmiah yang lain, “Indonesia” hanya merek baru, dalam bahasa yang paling asing, yang tidak ada hubungan apa-apa dengan bahasa kita, sejarah kita, kebudayaan kita, atau kepentingan kita, “Indonesia” hanya merek baru, nama pura-pura baru, yang dianggap boleh oleh Belanda untuk menggantikan nama “Hindia Belanda” dalam usaha mempersatukan administrasi tanah-tanah rampasannya di dunia Melayu yang amat luas ini, sipenjajah Jawapun tahu dapat menggunakan nama ini untuk membenarkan mereka menjajah negeri orang di seberang lautan. Jika penjajahan Belanda adalah salah, maka penjajahan Jawa yang mutlak didasarkan atas penjajahan Jawa itu tidaklah menjadi benar. Dasar yang paling pokok dari hukum internasional mengatakan: “Ex Injuria Jus Non Oritur”- Hak tidak dapat berasal dari yang bukan hak, kebenaran tidak dapat berasal dari kesalahan, perbuatan legal tidak dapat berasal dari illegal.

Meskipun demikian, bangsa Jawa tetap mencoba menyambung penjajahan Belanda atas kita walaupun Belanda sendiri dan penjajah penjajah barat lainnya sudah mundur, sebab seluruh dunia mengecam penjajahan. Dalam masa tiga-puluh tahun belakangan ini kami bangsa Acheh, Sumatera, sudah mempersaksikan betapa negeri dan tanah air kami telah diperas habis-habisan oleh sipenjajah Jawa; mereka sudah mencuri harta kekayaan kami; mereka sudah merusakkan pencaharian kami; mereka sudah mengacau pendidikan anak kami; mereka sudah mengasingkan pemimpin-pemimpin kami; mereka sudah mengikat bangsa kami dengan rantai kezaliman, kekejaman, kemiskinan, dan tidak peduli: masa hidup bangsa kami pukul rata 34 tahun dan makin sehari makin kurang. Bandingkan ini dengan ukuran dunia yang 70 tahun dan makin sehari makin bertambah, sedangkan Acheh, Sumatera, mengeluarkan hasil setiap tahun bagi sipenjajah Indonesia-Jawa lebih 15 milyar dollar Amerika yang semuanya dipergunakan untuk kemakmuran pulau Jawa dan bangsa Jawa.

Kami, bangsa Acheh, Sumatera, tidaklah mempunyai perkara apa-apa dengan bangsa Jawa kalau mereka tetap tinggal di negeri mereka sendiri dan tidak datang menjajah kami, dan berlagak sebagai “Tuan” dalam rumah kami, mulai saat ini, kami mau menjadi tuan di rumah kami sendiri; hanya demikian hidup ini ada artinya, kami mau membuat hukum dan undang-undang kami sendiri; yang sebagai mana kami pandang baik; menjadi penjamin kebebasan dan kemerdekaan kami sendiri; yang mana kami lebih dari sanggup; menjadi sederajat dengan semua bangsa-bangsa di dunia; sebagaimana nenek moyang kami selalu demikian, dengan pendek: Menjadi berdaulat atas persada tanah air kampung kami sendiri.

Perjuangan kemerdekaan kami penuh keadilan, kami tidak menghendaki tanah bangsa lain- bukan sebagai bangsa Jawa datang merampas tanah kami, tanah kami telah dikaruniai Allah dengan kekayaan dan kemakmuran, kami berniat memberi bantuan untuk kesejahteraan manusia sedunia, kami mengharapkan pengakuan dari anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik, kami mengulurkan persahabatan kepada semua bangsa dan negara dari ke-empat penjuru bumi.

ATAS NAMA BANGSA ACHEH, SUMATERA, YANG BERDAULAT.
Tengku Hasan Muhammad Di TiroKetua, Angkatan Acheh, Sumatera Merdeka dan Wali Negara Acheh, Sumatera, 4 Desember 1976

-----

Gerakan Acheh Merdeka (GAM) adalah upaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Aceh dari para penjajah. Hanya saja, bangsa Aceh menganggap bahwa Pemerintah Republik Indonesia yang dikuasai bangsa Jawa adalah penjajah berikutnya setelah Belanda dan Jepang.
 
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan Pemerintah Republik Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.


Tapi perjuangan bangsa Aceh mungkin belum berakhir.. Pada 15 Januari 2006 kita bisa melihat Deklarasi kelanjutannya sbb:

Komite Persiapan Acheh Merdeka Demokratik

Sekretariat:
New York, United States.
Tel/Fax. +1 718 337 8843
Stockholm, Scandinavia.
Tel. + 46 739 756532          
           preparatory.committee@gmail.com

Deklarasi

Kepada bangsa kami dan semua bangsa di dunia serta institusi-institusi internasional:

Kami yang tergabung dalam Komite Persiapan Acheh Merdeka Demokratik dengan ini menyatakan bahwa akan tetap meneruskan perjuangan untuk suatu konteks demokrasi yang lebih luas dan merata di tanah leluhur kami, Acheh, dengan penghormatan terhadap hukum-hukum international.

Diakui bahwasanya terdapat aspek positif dari Perjanjian yang telah ditanda tangani oleh Gerakan Acheh Merdeka (GAM) di bawah kepemimpinan Malik Mahmud dan perwakilan Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005, dan proses perdamaian yang sedang berlangsung telah menurunkan tingkat kekerasan di Acheh. Akan tetapi pada proses kelahirannya perjanjian tersebut adalah tidak memiliki kriteria demokrasi dan keterbukaan.

Meskipun terdapat banyak permintaan dari pelbagai pihak termasuk dari masyarakat sivil termasuk anggota GAM sendiri untuk menjadi bagian dari proses perundingan dan dibenarkan untuk memberi masukan dalam pembahasan kesepakatan tersebut, namun hanya beberapa saja yang terpilih dan dilibatkan.

Proses perundingan Helsinki dan hasil kesepakatan tersebut adalah tidak memiliki fondasi yang kokoh baik itu secara politik maupun demokrasi, dan tidak mempunyai justifikasi secara moral. Oleh sebab itu perjanjian tersebut tidak akan mampu bertahan dalam tempo yang lama.

Kami para pejuang setia Acheh Merdeka telah berdiri tegak dan bersatu dalam barisan Komite ini untuk: melanjutkan perjuangan kemerdekaan; mengembalikan kedaulatan Negara dan Bangsa; mempersiapkan berdirinya suatu pemerintahan yang bebas dan demokrat di Acheh; memperjuangkan aspirasi bangsa Acheh yang tertindas dan terabaikan. Semua maksud tersebut akan kami jalankan demi kebaikan bangsa kami agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia dalam kontribusinya untuk memperjuangkan perdamaian dunia, hak asasi manusia, kemerdekaan, keadilan, dan demokrasi. 

Kami percaya bahwa tidak ada suatu alasanpun yang dapat menghalangi kelanjutan perjuangan ini. Aspirasi Bangsa Acheh telah jelas tertulis dalam Proklamasi Acheh Merdeka 4 Desember 1976, dan terpahat dalam setiap jiwa bangsa Acheh, khususnya mereka yang telah berjuang tak kenal lelah untuk mencapai cita-cita tersebut.

Dengan ini kami memanggil semua bangsa Acheh di mana pun berada agar bangkit bersama dalam suatu barisan untuk merebut kembali kedaulatan serta marwah bangsa dan Negara Acheh. Dalam rangka menyusun kembali perjuangan besar yang kita warisi ini, telah kita dirikan Komite Persiapan Acheh Merdehka Demokratik yang akan mengambil langkah-langkah penting dalam meraih maksud tersebut.

New York, 15 January 2006.

Komite Persiapan Acheh Merdehka Demokratik:

  1. Affan Madjid (Acheh, Peureulak)
  2. Aiman Zulkarnaen (Acheh)
  3. Amir Tereusep  (Acheh Rayek)
  4. Amirul Mu'minin Nya' Tjut Ali (Acheh)
  5. Arifin Amin Syech (Australia)
  6. Asnawi Ali (Sweden)
  7. Eddy L. Suheri (United States)
  8. Fuadi Azmi (South Africa)
  9. Ghazali Abdul Hamid (Malaysia)
  10. Guree Rahman Ismail (Sweden)
  11. Hafizzul Majid (Acheh)
  12. Hanafiah Ahmad (Norway)
  13. Hasan Kumbang (Acheh)
  14. Ibnu Hasan Abdullah (Acheh)
  15. Ichlas Ramadhan (United States)
  16. Inong Zhahir Ramadhani (Acheh)
  17. Ishak Beulama (Acheh, Mereuhom Daya)
  18. Jaffaniel Alamsyah (Acheh)
  19. Khusairi Ismail (Acheh)
  20. Mustafa Krueng (United States)
  21. Syahbuddin Rauf (Sweden)
  22. Syuhada Linge (Acheh, Linge)
  23. Tgk. Lahmuddin Pang Teh (Malaysia)
  24. Yusuf Daud (Sweden)
  25. Zikrinullah Makarim (Malaysia)
* Diterjemahkan dari Deklarasi asal bahasa Inggris.

-----

Hasan Tiro, dalam The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, 
National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal :15,17; (dengan terjemahan sbb:)

 
"Kepada bangsa di seluruh dunia:
Kami, bangsa Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri,dan 
melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini 
mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik 
pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. 
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 
4 Desember 1976")